Friday, December 28, 2018

Istilah pedofil dan konsekuensi hukum nya

Istilah pedofil, dan pedofilia tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, pedofilia digolongkan dalam parafilia: gangguan mental yang melibatkan ketertarikan seksual terhadap objek atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. Orang yang mengidap pedofilia memiliki dorongan, perilaku seksual, atau fantasi kuat serta berulang tentang anak-anak pra-puber, umumnya yang berumur 13 tahun ke bawah. Ada kriteria dalam dunia psikiatri untuk menggolongkan seseorang mengidap pedofilia. Minimal, dorongan, perilaku, atau fantasi seksual tentang anak-anak tadi telah berlangsung selama 6 bulan berturut-turut. Penyebab pasti pedofilia masih belum didapatkan oleh para ahli kejiwaan, yang ada hanyalah kemungkinan-kemungkinan, ada yang mengatakan hal ini dipengaruhi oleh gangguan neurotransmiter, pola asuh orangtua, atau pengaruh lingkungan sekitar. Ada pula yang menyatakan bahwa pedofilia terkait dengan stres atau kekurangan gizi yang dialami ibu hamil. Sementara untuk mengubah keadaan mental ini, ada beberapa cara yang bisa dipilih, mulai dari terapi menggunakan obat-obatan seperti anti-androgen hingga terapi perilaku. Namun, terapi macam apa pun akan sulit membuahkan hasil yang diharapkan jika hanya menyasar pada si pengidap pedofilia saja. Untuk semua gangguan mental, faktor biologi, psikologi, dan sosial sama-sama berperan penting terhadap perubahan kondisi mereka. Seorang pedofilia tidak selalu melakukan kekerasan seksual pada anak. Sebaliknya, pelaku kekerasan seksual pada anak belum tentu pedofilia, ketika terjadi kontak seksual antara orang dewasa dan anak-anak atau yang berusia di bawah 18 tahun, sebutannya perlu dibedakan. Pedofilia, jika korbannya adalah anak-anak usia pra-pubertas. Hebefilia, jika korbannya anak-anak usia pubertas. Serta Efebofilia, jika korbannya adalah anak-anak pasca-pubertas. Pada hebefilia misalnya, korban yang berusia pubertas sedikit banyak sudah punya minat seksual. Sehingga, perlu dicek apakah anak melakukan perlibatan aktif dalam interaksi seksual. Jika ya, maka sesungguhnya bukan hanya si predator yang harus direhabilitasi, tetapi korban juga perlu. Agar nantinya mampu mengendalikan dorongan seksual khas di usia pubernya. 

Kesalahan dalam menggunakan istilah pedofil bisa menimbulkan celah hukum yang meringankan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Penyebutan pedofilia adalah bentuk pelunakan dari kejahatan seksual pada anak. Salah satu implikasi hal ini adalah munculnya potensi/celah hukum yang meringankan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Secara hukum, hal ini penggunaan istilah pedofil bisa disalahgunakan oleh penjahat seksual anak meskipun tidak sepenuhnya membebaskan mereka. Keadaan pedofil sebagai gangguan kejiwaan, bisa dijadikan dalih pelaku untuk tidak bertanggung jawab secara hukum atas tindakannya. Sebagai catatan, di Indonesia, orang-orang yang didiagnosis memiliki gangguan jiwa dan sulit mempertanggung jawabkan tindak kriminalnya akan mendapat perlakuan berbeda. “Jangan sampai pelaku kejahatan seksual terhadap anak berlindung di bawah istilah pedofil, mengaku sakit jiwa dan meminta rehabilitasi saja. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, KPAI, dan penelitian-penelitian terbatas menunjukkan, gambaran secara global, jumlah terbesar pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah orang terdekat anak. Tips-tips untuk curiga pada orang asing juga harus kritisi karena tidak demikian faktanya bahwa pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah orang asing. Agar kasus kasus serupa tidak lagi terjadi di lingkungan kita alangkah lebih baiknya orang tua mulai memberikan pengetahuan pada anak agar terhindar dari hal seperti itu dan juga lebih waspada terhadap pertumbuhan mental dan psikis anak. Pendidikan seks pada usia dini adalah suatu alternatif untuk mencegah kasus kasus serupa untuk terjadi.

No comments:

Post a Comment